Wednesday, November 18, 2015

LOVE AND AMBITION by ViCross


Kriiiiiiing!!! Suara berdering meramaikan suasana pagi. Aku menghempas selimut ke atas karena kesal. Siapa sih yang menelponku pagi-pagi begini?!
Aku mengangkat telepon yang terletak di atas meja kecil.
 “Halo?”
Tidak ada  jawaban dan suara dering itu tetap melantunkan nyanyiannya. Ternyata bukan telepon yang berbunyi, tapi jam beker. Sejak kapan suaranya seperti suara telepon? Ah sudahlah.
Aku membanting telepon yang tadi kupegang dan melemparkan kepalan tanganku ke jam beker yang tak berdosa. Jam beker persegi panjang yang tadinya masih berbunyi keras--- sekarang sudah mengeluarkan asap. Tampaknya aku harus membeli jam weker yang baru.
Suara bising kendaraan di kota New York terdengar di pagi yang cerah ini. Aku ingat bahwa aku harus pergi bekerja. Aku masuk ke ruangan pakaian. Di sana terpampang semua pakaian-pakaian bermerk.
Sebagai putra pemilik perusahaan meubel yang sudah memiliki ratusan cabang di seluruh dunia, penampilan sangat penting bagiku. Apalagi di mata ayah, aku selalu dipandang sebelah mata dibandingkan dengan kakakku, Levi. Dia 3 tahun lebih tua dariku. Dia selalu terlihat sempurna di mata semua orang dengan prestasinya yang gemilang di perusahaan. Sekeras apapun aku berusaha, aku akan selalu dipandang rendah oleh semua orang. Mulai dari keluargaku sendiri sampai rekan-rekan kerja ayah.
Aku membenci ayahku dan kakakku. Untuk itu aku berambisi untuk mendapatkan posisi ayah sebagai CEO dan melampaui kakak.
Hanya satu kelemahan kakakku. Selera pakaiannya dan wajahnya tidak setampan diriku. Itulah yang membuatku berpikiran bahwa hanya dalam hal berpenampilanlah aku bisa menang dari kakak. Untuk itu, penampilan sangat penting bagiku.
Aku mengambil koper kerjaku dan kunci mobil kemudian berjalan keluar rumah. Sinar matahari terik menyinari New York di bulan Juli. Aku memasuki mobilku lalu melesatkannya menuju kantor.
Akhirnya sampailah aku di Olympus Corp. Tempat di mana aku akan bekerja dengan orang-orang yang kubenci. Aku turun dan menyuruh vallet untuk memakirkan mobilku. Aku masuk dan berhasil memberhentikan pintu lift yang hampir menutup--dengan seorang wanita yang juga masuk bersamaan denganku.
 Kami hanya berdua saja dalam lift. Aku meliriknya, matanya hijau terang dengan rambut yang berwarna coklat kemerahan dan hidung yang mancung. Kulitnya putih bersih dan pakaiannya juga masih dalam batas kesopanan. Aku menekan tombol lantai yang tertinggi, ternyata dia juga menuju lantai yang sama.
Dia juga melirikku, secara refleks aku memberikan senyum terbaikku. Biasanya hal itu bisa melumpuhkan wanita dalam sekejap. Aku pun mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Dia menyambut tanganku, aku merasakan aliran listrik mengalir ke seluruh tubuhku.
 “Perkenalkan namaku Edward Cole, kau bisa memanggilku Edward. Aku ingin tahu siapa nama nona cantik di depanku ini.?” Dia tersenyum, tapi sepertinya aku mengenal senyum itu.
“Mr. Edward, aku tersanjung dengan pujianmu. Tapi aku tidak bisa memberitahukan namaku.” Aku mengerutkan kening, tidak mengerti.
“Apa kau tidak menyukai namamu? Atau ada sebuah kode rahasia dalam namamu sehingga aku tidak boleh mengetahuinya?” candaku. Dia tersenyum simpul.
“Bisa dibilang begitu,” dia tertawa kecil.
Tiba-tiba suatu ingatan menyentakku.
“Karen? Namamu Karen Fillion kan?”
“Nah! Akhirnya kau ingat.” Sekarang Karenlah yang tersenyum.
“Tentu saja aku ingat, Karen. Kelihatannya kau sehat-sehat saja.” Dia mengangguk kemudian tersenyum lagi. Karen adalah teman satu sekolahku dulu dan merupakan salah satu mantan pacar pertamaku.
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Tatapannya menyiratkan sesuatu. Tiba-tiba tedengar bunyi ‘ting!’ keras memenuhi ruangan dan membuat kami berdua terkejut. Kami membetulkan posisi berdiri lalu melihat ke arah pintu lift yang perlahan-lahan terbuka.
Ada seseorang yang menunggu di depan lift. Aku tahu siapa dia, dialah Aaron--- pemegang saham kedua terbesar di Olympus Corp. dan juga ayah dari Karen.
 “Karen, dari mana saja kau? Tidak sopan membiarkan orang-orang menunggu. Ah! Kau pasti Edward, adik dari Levi,” ujarnya. Dia mengulurkan tangan untuk menyalamilku. Aku tersenyum setengah hati lalu menyambut tangannya. Sudah kuduga bahwa aku hanya akan dikenal sebagai adik Levi, tidak lebih.
“Senang berkenalan denganmu, Pak. Saya mendengar banyak tentang anda.” Di sebelah Aaron, Vanessa--- sekretaris ayah sedang menunggu kami selesai bicara.
“Selamat datang, Mr. Edward dan nona Karen. Mr. Arnold dan Mr. Levi sudah menunggu di ruang kerjanya. Silahkan ikuti saya.” Ketika kami masuk ke dalam, aku melihat Levi dan ayah sedang duduk berhadapan di sofa. Mereka langsung berdiri ketika melihat kami masuk. Ayah dan Levi bersalaman dengan Aaron dan memeluk Karen. Vanessa sudah keluar dari ruangan.
“Silahkan duduk,” Aku duduk di sebelah Karen.
“Saya senang sekali kalian bisa datang kemari. Maaf bila saya mengganggu jadwal anda pada hari ini,” kata ayah pada Aaron dan Karen.
“Tidak, saya sama sekali tidak keberatan dengan undangan anda. Malah saya merasa terhormat bisa datang kemari.” Karen mengangguk sambil tersenyum formal.
“Nah, karena kita semua sudah di sini. Saya akan mengatakan maksud sebenarnya mengundang kalian kemari,” Ayah terdiam sejenak kemudian melanjutkan. “Sebagai rekan kerja dan sebagai sahabat lama, kita sudah saling membantu satu sama lain. Oleh karena itu, saya ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita dengan menjodohkan Levi--putraku dengan putrimu, Karen.”
Hening.  Kata-kata ayah bagaikan sambaran petir di siang bolong.
Ekspresiku horror, Karen menjadi kakak iparku? Oh tidak!! Semua orang yang ada di ruangan ini menunjukkan ekspresi terkejut kecuali ayah dan Levi. Rasanya aku ingin keluar dari sini dan memukul seseorang sekarang juga. Aaron berdeham. “Saya rasa itu adalah ide yang bagus. Bukan kebetulan, Karen dan Levi mempunyai hubungan yang baik di perusahaan ini.”Aku menatap Karen---yang sekarang sedang menatap ayahnya dan ayahku dengan kebingungan.
Aku menatap Levi sengit, dia sedang melihat ke arah lain. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat dilihat dari ekspresinya. Bukankah seharusnya dia senang?
Aku memutuskan untuk berdiri. “Kalau begitu, saya keluar dulu. Tampaknya saya tidak dibutuhkan di sini. Pemisi.” Aku berbalik lalu meninggalkan ruangan itu. Aku dapat merasakan tatapan orang-orang yang ada di dalam ruangan, salah satunya adalah tatapan tajam dari ayah. Tapi aku tidak peduli, aku perlu menenangkan diri.
Di atap dari gedung ini. Pemandangannya sangat indah, terlepas dari semua keramaian dan kemacetan kota New Tempat inilah biasanya aku menenangkan diri saat sedang penat. Aku memejamkan mataku dan menenangkan diri.
Tak sadar aku sudah tertidur, tiba-tiba aku merasakan sentuhan yang lembut di bahuku. Aku membuka mataku dan kulihat dia. Karen tersenyum lembut lalu duduk di sebelahku.
“Pemandangan di sini sangat indah, Ed. Apa kau ingat waktu itu kita juga suka berada di atap sekolah dan melihat pemandangan indah seperti ini?” ujar Karen. Aku pun teringat masa lalu, semuanya begitu indah namun semuanya berubah ketika dia pergi meninggalkan New York karena pekerjaan ayahnya. Setelah itu, aku tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi. Aku tidak percaya bahwa sekarang dia ada di sini dan duduk di sebelahku.
“Ya, aku ingat. Aku ingat semua yang kita lakukan bersama waktu itu. Bagaimana aku bisa lupa?” Aku hanya bisa merawang ke langit. Sayang sekali waktu berlalu begitu cepat tanpa menunggu siapapun dan sekarang tampaknya aku telah menyesal karena melepasnya. Dia akan menjadi istri dari Levi Cole. Pemikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mendesah lalu menatap langit lagi. Aku bisa merasakan tatapan Karen, aku meliriknya. Dia terlihat sedih, sama sepertiku. Perasaan yang dulu hilang namun muncul kembali ke permukaan.
Aku mengangkat tanganku, lalu mengelus-elus rambutnya. Dia menyandar pada bahuku. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat di mana dia berada sedekat ini denganku. Aku menyadari kekayaanku tidak bisa membeli semua ini.
Pada malam harinya, Karen menelponku. “Halo,” sapaku.
“Hai, Edward!” Suaranya ceria sekali, “Besok hari Sabtu. Maukah kau menjadi pemanduku selama di sini? Ayahku masih sibuk dengan pekerjaannya. Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke New York.” Kata-kata Karen membuat perutku bergejolak. Aku pun langsung mengiyakan ajakannya. Aku menjemput Karen jam 10 pagi pada esok harinya. Kami pun sarapan taco di Taco Bell.
Malam harinya, aku mengajaknya ke taman kota. Tempat inilah aku menyatakan cintaku padanya waktu itu, tapi semua itu harus berakhir karena Karen harus kuliah di Jerman. Kalau diingat, hanya dengan Karen sajalah aku merasa seperti manusia normal bukan anak dari CEO yang berambisi.
 “Karen, apa kau ingat apa yang terjadi di sini waktu itu?”
 Karen tersenyum sambil menatapku, “Ya, tentu saja aku ingat. Kau menyatakam cintamu padaku tepat di bawah pohon ini,” kata Karen. Aku bertanya-tanya apakah dia masih merasakan perasaan yang sama padaku? Apakah dia menerima tawaran dari ayah untuk menikah dengan Levi?
 “Aku senang ternyata perasaanmu tidak berubah padaku dari dulu, tapi sayangnya keadaan sudah berbeda sekarang,” ujarnya. Aku penasaran dengan apa yang akan dia katakan, tapi aku juga gugup. Jantungku berdetak keras dalam dadaku. Dia mengangkat kepala dan manatapku tepat di manik mata.
Aku tidak mau merasa bersalah bila dia sudah menerima lamaran itu. “Karen, aku janji akan baik-baik saja sekalipun kau…”
“Sssst…” Dia menghentikanku untuk berbicara dengan cara menaruh jari telunjuknya pada bibirku. Dia menutup mata dan menarik nafas, lalu menatapku lagi. “Aku belum menjawab permintaan ayahmu. Aku tidak ingin mengecewakan ayahku dan ayahmu juga, tapi aku juga tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai,” Dia diam lagi, “Jadi aku meminta tanda dari Tuhan dan jawabannya tepat berada di hadapanku” Tanda itu aku! Sebuah memori melesak keluar.
 Aku sedang berada di rumah sakit. Ibu sedang terbaring di tempat tidur dengan banyak sekali peralatan rumah sakit di seluruh tubuhnya. Bunyi dari detak jantung ibulah yang membuatku terjaga. “Ibu, apa kau tahu? Aku sudah lulus kuliah dan mendapat gelar cum laude, aku pasti bisa mengejar prestasi Levi di perusahaan ayah.” Ibu hanya bisa menatapku tanpa ekpresi apapun, karena penyakitnya—semakin lama tubuhnya semakin kehilangan fungsinya.
Tiba-tiba ponselku berdering, aku melihat nama yang ada di layar tersebut. “Ibu, aku keluar sebentar dulu ya.” Aku bangkit dari kursi lalu keluar dari ruangan.
“Halo, ayah kapan kau datang? Kami sudah menunggumu dari tadi, kakak pergi duluan karena ada urusan mendadak.” Aku bisa mendengar suara klakson dan derum mesin di balik telepon.
“Maaf, Nak. Ayah tidak bisa datang hari ini. Tiba-tiba ayah ada meeting yang mendadak.” Aku terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit.
“Tidak bisakah ayah datang walaupun hanya sebentar? Ibu sudah merindukan ayah.”
Hening sejenak di telepon, “Maaf, ayah benar-benar tidak bisa.” Dan telepon pun dimatikan. Pada hari yang sama, ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya.Sejak saat itu yang ada hanya kebencian pada ayahku.
“Hei Edward, apa kau mendengarku?” Lamunanku terputus karena suara Karen yang mengagetkanku. Aku hanya bisa tersenyum dan membuang perasaan bersalahku jauh-jauh. Meskipun aku ingin bersama Karen, aku harus menjalankan ambisiku demi ibu--- aku sudah setengah jalan. Aku tidak bisa kembali lagi dan mengulang dari awal.
“Maaf, tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Akan kuantar kau pulang.” Aku mengantar sampai ke depan pintu apartemennya, kami mengucapkan selamat malam lalu aku berbalik pulang. Saat sampai, aku melihat Levi sedang duduk di sebelah pintu apartemenku sambil membenamkan wajahnya di tangannya.
Sudah lama sekali aku tidak melihat kakak berkunjung ke apartemenku. Terakhir dia berkunjung adalah saat di pemakaman. Aku berjalan mendekatinya. Mendengar langkah kakiku, dia bergerak dan mengangkat kepalanya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, rambutnya kusut masai, kemejanya berantakan dan kotor. “Sudah berapa lama kau di sini?” tanyaku.
“Aku tidak tahu berapa lama.” Suaranya parau. Dia bangkit berdiri kemudian mengibas-ngibas celana kantornya. “Ed, kita perlu bicara.”
“Maaf, tampaknya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu kali ini.” Aku hampir menutup pintu, tiba-tiba dia menahannya dengan tangan. Apa-apaan dia??!!! Aku menatapnya marah.
Please, I need somenone to talked to. I can’t… I just can’t..” Aku mengumpat pelan kemudian membuka pintu sampai dia masuk.  Dia menghempaskan diri ke sofa sambil menutup mukanya dengan telapak tangannya.
“Kalau kau mau bicara, cepatlah. Aku tidak punya banyak waktu.” Aku memilih duduk di sofa satunya sehingga kami saling berhadapan. Aku memang tidak sopan karena tidak menawarinya minum, tapi aku malas melihatnya berada di sini. Aku membuang perasaan bersalah yang menyelip dari dalam hatiku jauh-jauh.
“Sebenarnya, saat ayah menaruh rencana dalam kepalaku untuk menikah dengan Karen.” Dia terdiam sejenak sambil menelan ludah, “Aku terkejut luar biasa, aku tidak ingin menikah dengan orang yang hanya kuanggap sebagai adikku sendiri.”
“Lalu mengapa kau tidak menolaknya saja?!” ujarku marah, “Mengapa kau menerimanya, padahal kau tidak mau??!” Aku bangkit kemudian duduk kembali.
“Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Karena hal itu akan mengorbankan seseorang dalam perusahaannya dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak mempunyai perasaan apapun dengan Karen karena aku mencintai orang lain dan orang itu adalah Vanessa.”
Mataku membelalak. Vanessa?! Sekretaris ayah?!! Bagaimana bisa?!
“Aneh memang, tapi aku mencintainya dengan tulus. Aku sebenarnya mulai dekat dengannya sejak kami kuliah di universitas yang sama. Hubungan kami sempat terhenti karena kami memilih jalan yang berbeda, tapi aku tidak menyangka bahwa aku bertemu dengannya lagi di perusahaan ayah dan kami mulai berpacaran tanpa sepengatahuan ayah. Kami tetap menjaga profesionalitas kami bila di kantor.” Levi bercerita sambil tersenyum.
“Mengapa kau tidak pernah bercerita kepada ayah tentang Vanessa? Aku yakin ayah pasti mengerti.” Sejak kapan aku mulai menyebut nama ‘ayah’ lagi? Aku selalu menyalahkannya karena kematian ibu, padahal ayah tidak melakukan apapun. Buktinya sampai sekarang ayah belum menikah lagi meskipun banyak wanita yang mendekatinya.
“Aku tidak bisa mengorbankan jabatan Vanessa yang susah payah ia dapatkan, Ed.”
“Kalau begitu, aku akan mencoba berbicara dengannya besok. Semua masalah ini harus selesai sebelum terlambat.,” ujarku.
“Terima kasih. Aku tahu aku tidak salah memilih orang yang bisa kuandalkan.” Aku mengangguk dan dia pun pergi dengan bernafas lega. Setelah Levi pergi, aku langsung memikirkan rencana untuk besok. Aku merasa gugup. Aku akan benar-benar berbicara dengan ayah untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Aku menarik nafas panjang selama tiga kali sebelum mengetok pintu. Akhirnya aku berhasil mengetoknya juga. Seorang pelayan wanita yang ramah mempersilahkanku masuk dan menunggu di sofa yang tidak pernah kulihat lagi selama bertahun-tahun. Tak berapa lama, pelayan itu memanggilku lagi dan mengantarku ke ruang kerja ayah.
“Yah..” Rasanya aneh sekali memanggilnya seperti itu. Ayahku tidak berbalik. Aku menelan ludah, “Ayah, a.. a… aku minta ma.. maaf.” Ayahku tetap diam, “Maaf, selama ini aku selalu mengecewakan ayah. Aku tahu aku bukan anak yang membanggakan. Untuk itu aku minta maaf… Untuk segalanya.”
Hening. Aku menarik nafas, “Aku tahu aku tidak pantas untuk menjadi anak ayah lagi, tapi aku mempunyai satu permintaan. Tolong jangan nikahkah Karen dengan Levi. Aku tidak sanggup melihatnya menikahi Levi.” Suaraku mulai bergetar. Ayah berbalik. Dia menyandarkan kepalanya pada jari-jarinya yang terpaut di atas meja. Tatapannya sangat serius.
“Apa kau begitu mencintainya, Ed?” Aku mengangguk, “Bagus, ayah mempunyai dua pilihan yang harus kau ambil.” Aku menunggu, “Ayah sudah membatalkan pertunangan Levi dan Karen. Ayah hanya mengujinya. Ayah sudah tahu siapa yang kau dan Levi cintai sesungguhnya.” Aku terkejut, ternyata ayah tahu?
 “Kau bisa tetap berkerja di perusahaan ayah dan mencapai prestasi melampaui kakakmu atau kau memilih menikahi Karen dengan jabatanmu sekarang di perusahaan? Mana yang kau pilih?”Aku terdiam.
“Kalau kau memilih Karen, ayah tidak akan mengijinkan Levi dengan Vanessa. Tapi kalau kau memilih menunggu dan bekerja sampai kau bisa melampaui kakakmu, ayah akan berpikir ulang tentang hubunganmu dengan Karen dan tentu saja Levi juga.” Aku berpikir keras. Ini bukan hanya tentang diriku sendiri. Setiap pilihan ada hal yang harus dikorbankan. Seberapa besar ambisiku dan rasa egoku? Sebarapa besar rasa cinta dan pengorbananku? Aku membuka mulutku dan mengatakan jawabanku.
Dua tahun kemudian…
Aku memandang bunga-bunga yang menghiasi altar pernikahan. Para tamu yang berdatangan, keluarga yang hadir, dan tentu saja pendeta yang akan memberkati upacara sakral ini. Janji nikah pun diucapkan. Pandanganku tertuju pada ayah yang tersenyum bahagia, sudah lama sekali aku tidak melihat ayah sebahagia ini, bahkan dia sampai meneteskan air mata juga.
“Ssst! Ed, cincinnya!” bisik Levi memutuskan lamunanku tadi. Aku langsung sadar lalu mengeluarkan kotak mungil berwarna hitam lalu mengeluarkan dua buah cincin. Para hadirin tertawa melihatku. Aku memberikan kedua buah cincin emas putih tersebut pada Levi dan Vanessa. Aku mengalihkan pandanganku pada salah satu pengiring pengantin wanita. Dia terlihat sangat cantik dalam balutan gaun merah marun dengan bunga di sisi kiri tali bahunya. Aku mengedip padanya dan dia tersenyum lembut padaku.
Aku berhasil melampaui kinerja kakak di perusahaan. Aku tidak tahu mengapa aku bisa lebih memilih kebahagiaan kakak dibanding dengan diriku sendiri. Ya, aku memutuskan untuk memilih pilihan kedua yang ayah berikan. Saat aku sudah memilih, aku merasa lebih bahagia bahkan Karen pun setuju denganku untuk memilih pilihan itu.  Penyakit ayah telah sembuh, itu sebuah mujizat dan hubunganku dengannya semakin baik.
Now I pronounced you husband and wife. You may now kiss your bride.” Mereka berciuman dan penonton pun bertepuk tangan. Aku menatap Karen, dia juga menatapku balik. Saat resepsi di dalam gedung, aku mengajak Karen untuk berjalan-jalan di luar. Jantungku berdetak kencang. Aku menggandeng tangannya, kelihatannya dia tidak keberatan dengan hal itu.
“Karen, apa kau tahu apa yang kupikirkan saat aku memilih pilihan itu dua tahun yang lalu?”
“Tidak… Memangnya apa yang kau pikirkan?”
“Aku memikirkan tentang kita. Aku sempat berpikir bagaimana jika aku memilih untuk menikah denganmu dan tidak peduli dengan Levi?” Kami berjalan di taman belakang gedung pernikahan. Malam itu bulan bersinar dengan indahnya “Aku berpikir lagi. Sekalipun aku mendapatkanmu waktu itu, aku pasti akan menyesal karena aku mengorbankan kebahagiaan kakakku dan kau pasti tidak setuju kalau aku memilih pilihan itu, bukan?” Kami berdua tertawa bersama-sama karena kata-kataku itu benar.
Aku berhenti tertawa kemudian aku berhenti di hadapannya sambil mengeluarkan kotak hitam kecil. Mata Karen mulai berkaca-kaca.
“Karen Laurel Fillion, dua tahun sudah aku menunggu saat-saat ini.” Aku berhenti dan menarik nafas panjang, “Maukah kau menikah denganku?”
Dia membekap mulutnya untuk menahan keterkejutannya, kemudian aku memeluknya dengan erat. Tampaknya cerita kami akan dimulai sekarang.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com. Kirim cerpenmu ke email: send@nulisbuku.com.



Sunday, November 24, 2013

Jomblo Itu.... - Flash True Story I'm Single, But I'm happy

 Sulitkah menjomblo? Sepertinya itu pertanyaan untukku. Aku menjomblo sejak lahir sampai sekarang (umur 18 tahun). Aku akan menceritakan kisahku, dengarkan ya! Dari semua temen-temen di sekitar aku yang udah jadian semua, cuma aku yang masih belum punya. Ada sih galau-galaunya, kayak… Kenapa ya Aku belum punya pacar? Gimana sih rasaya pacaran?

Menurut aku, jomblo itu adalah kebebasan untuk melakukan sesuatu yang kita sukai tanpa harus diganggu sama pacar atau dilarang sama doi. Nah terus kalau misalnya kalau dapet pacar, aku takut kalau bakal berubah jadi “orang lain” yang bukan diriku sendiri.

Nah, balik ke cerita aku, kalau yang lain lagi “pacaran” Ya aku di kamar sendiri, menatap langit-langit kamar buat cari inspirasi. Tapi dengan menjomblo aku lebih punya banyak waktu seperti membaca banyak novel bergenre romance, menulis novel dan cerpen-cerpen, kalau menjomblo itu nggak terikat. Sebagai jomblo, aku juga sering jadi tempat curhatan buat sahabat-sahabatku yang sudah jadian ataupun yang hampir mau jadian.

Sifatku yang cuek menjadikanku untuk tidak terlalu memikirkan untuk memiliki pacar. Yahhh, itu sih relatif. Aku adalah tipe orang yang tidak suka untuk ditungguin orang, lebih baik aku yang menunggu. Kalau tidak punya, aku tidak perlu merasa tidak enak untuk ditungguin karena memang tidak ada yang pernah menungguku.

Nah satu lagi yang aku pelajari kalau menjomblo, kita tidak perlu menyakiti hati orang lain ketika kata “putus” diucapkan. Lagipula kita masih muda kok, masih banyak karya-karya yang bisa kita hasilkan tanpa harus galau-galauan . Aku nggak perlu membagi waktu untuk pacar. Nggak ada pacar kok. Selama aku menjomblo, aku udah menciptakan puluhan cerpen dan novel, trus aku juga aku bisa mengahabiskan waktu lebih banyak untuk hang out dengan sahabat-sahabat aku bahkan dengan orang tua juga. Jadi buat apa ngegalau soal belom dapet pacar ? Kalau kita bisa melakukan hal yang berguna bagi orang lain dan bagi diri kita sendiri. Sekian


Vianny Felicia Senjaya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Lahir tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta. Hobinya adalah menulis, menonton dan bermain music. Saat ini sedang berkuliah di Universitas Advent Indonesia, jurusan manajemen. 

Sunday, October 20, 2013

The Hunger Games: Catching Fire Official Theatrical Trailer (2013) HD

So excited to watch Catching Fire (the second story of Hunger Games Trilogy) on November 22th :D
I will share you the synopsis of the story

Dikau


Dengar sayup gesekan biola
Kutatap rindu berpandang-pandangan
Esok hari tak ada lagi matahari
Waktu dan jantungku seolah berhenti
Hari ini pun cukup ‘tuk dijalani
Tak perlu apapun lagi
Relung gelap matamu terjebaklah jiwaku
Dalam telingaku suaramu memerdu
Kata-katamu menyihir seluruh aku
Tak kuacuhkan lagi melodi sendu
Kembang ribu rupa tak alihkan pandangku
Darahku kering, jantungku membatu
Esok takkan pernah ada bulan lagi
Raga dan jiwa berhenti dan berlalu
Bergeming aku menatap anggun gerakmu
Bergetar hati seluruh jiwaku
Tak inginkan apapun, tak perlu lagi
Gelora dalam jiwa menyerbu
Ku takkan kuasa keluar pergi
Lepaskan ikat jerat pesonamu
Bintang malam lenyap dalam pandangku
Langkahku pelan menuju dirimu
Kuulurkan gemetar tangan kananku
Bibir kelu bergerak bergetar
Maukah kau terima aku?


Sunday, October 13, 2013

Snow White and The Huntsman Album Score part 4

I promise you this will be the last part of Snow White and The Huntsman Score Album... James Newton Howard, you are so talented... He also composed The Lord of The Ring's score too

16. You Can Not Defeat Me 

Snow White and The Huntsman Score and Soundtrack Album part 3

The last part of Snow White and The Huntsman Score Album. plus there are soundtrack from the movie...
Enjoy every part of it :)

11. White Hart 


Snow White and The Huntsman Score Album part 2

This is the second part of Snow White and The Huntsman Score Album... Enjoy :)

05. Escape from the Tower

CLICK FOR THE FULL PAGE