Kriiiiiiing!!!
Suara berdering meramaikan suasana pagi. Aku menghempas selimut ke atas karena kesal. Siapa
sih yang menelponku pagi-pagi begini?!
Aku
mengangkat telepon yang terletak di atas meja kecil.
“Halo?”
Tidak
ada jawaban dan suara dering itu tetap melantunkan
nyanyiannya. Ternyata bukan telepon yang berbunyi, tapi jam beker. Sejak kapan
suaranya seperti suara telepon? Ah sudahlah.
Aku membanting telepon yang tadi kupegang dan melemparkan
kepalan tanganku ke jam beker yang tak berdosa. Jam beker persegi panjang yang
tadinya masih berbunyi keras--- sekarang sudah mengeluarkan asap. Tampaknya aku
harus membeli jam weker yang baru.
Suara bising kendaraan di kota New York terdengar di
pagi yang cerah ini. Aku ingat bahwa aku harus pergi bekerja. Aku masuk ke
ruangan pakaian. Di sana terpampang semua pakaian-pakaian bermerk.
Sebagai putra pemilik perusahaan meubel yang sudah
memiliki ratusan cabang di seluruh dunia, penampilan sangat penting bagiku.
Apalagi di mata ayah, aku selalu dipandang sebelah mata dibandingkan dengan
kakakku, Levi. Dia 3 tahun lebih tua dariku. Dia selalu terlihat sempurna di
mata semua orang dengan prestasinya yang gemilang di perusahaan. Sekeras apapun
aku berusaha, aku akan selalu dipandang rendah oleh semua orang. Mulai dari
keluargaku sendiri sampai rekan-rekan kerja ayah.
Aku membenci ayahku dan kakakku. Untuk itu aku berambisi
untuk mendapatkan posisi ayah sebagai CEO dan melampaui kakak.
Hanya satu kelemahan kakakku. Selera pakaiannya dan
wajahnya tidak setampan diriku. Itulah yang membuatku berpikiran bahwa hanya
dalam hal berpenampilanlah aku bisa menang dari kakak. Untuk itu, penampilan
sangat penting bagiku.
Aku mengambil koper kerjaku dan kunci mobil kemudian
berjalan keluar rumah. Sinar matahari terik menyinari New York di bulan Juli.
Aku memasuki mobilku lalu melesatkannya menuju kantor.
Akhirnya sampailah aku di Olympus Corp. Tempat di mana
aku akan bekerja dengan orang-orang yang kubenci. Aku turun dan menyuruh vallet untuk memakirkan mobilku. Aku masuk
dan berhasil memberhentikan pintu lift yang hampir menutup--dengan seorang
wanita yang juga masuk bersamaan denganku.
Kami hanya
berdua saja dalam lift. Aku meliriknya, matanya hijau terang dengan rambut yang
berwarna coklat kemerahan dan hidung yang mancung. Kulitnya putih bersih dan
pakaiannya juga masih dalam batas kesopanan. Aku menekan tombol lantai yang
tertinggi, ternyata dia juga menuju lantai yang sama.
Dia juga melirikku, secara refleks aku memberikan
senyum terbaikku. Biasanya hal itu bisa melumpuhkan wanita dalam sekejap. Aku
pun mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Dia menyambut tanganku, aku
merasakan aliran listrik mengalir ke seluruh tubuhku.
“Perkenalkan
namaku Edward Cole, kau bisa memanggilku Edward. Aku ingin tahu siapa nama nona
cantik di depanku ini.?” Dia tersenyum, tapi sepertinya aku mengenal senyum
itu.
“Mr. Edward, aku tersanjung dengan pujianmu. Tapi aku
tidak bisa memberitahukan namaku.” Aku mengerutkan kening, tidak mengerti.
“Apa kau tidak menyukai namamu? Atau ada sebuah kode
rahasia dalam namamu sehingga aku tidak boleh mengetahuinya?” candaku. Dia
tersenyum simpul.
“Bisa dibilang begitu,” dia tertawa kecil.
Tiba-tiba suatu ingatan menyentakku.
“Karen? Namamu Karen Fillion kan?”
“Nah! Akhirnya kau ingat.” Sekarang Karenlah yang
tersenyum.
“Tentu saja aku ingat, Karen. Kelihatannya kau
sehat-sehat saja.” Dia mengangguk kemudian tersenyum lagi. Karen adalah teman
satu sekolahku dulu dan merupakan salah satu mantan pacar pertamaku.
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu.” Tatapannya
menyiratkan sesuatu. Tiba-tiba tedengar bunyi ‘ting!’ keras memenuhi ruangan
dan membuat kami berdua terkejut. Kami membetulkan posisi berdiri lalu melihat
ke arah pintu lift yang perlahan-lahan terbuka.
Ada seseorang yang menunggu di depan lift. Aku tahu
siapa dia, dialah Aaron--- pemegang saham kedua terbesar di Olympus Corp. dan
juga ayah dari Karen.
“Karen, dari
mana saja kau? Tidak sopan membiarkan orang-orang menunggu. Ah! Kau pasti
Edward, adik dari Levi,” ujarnya. Dia mengulurkan tangan untuk menyalamilku. Aku
tersenyum setengah hati lalu menyambut tangannya. Sudah kuduga bahwa aku hanya
akan dikenal sebagai adik Levi, tidak lebih.
“Senang berkenalan denganmu, Pak. Saya mendengar
banyak tentang anda.” Di sebelah Aaron, Vanessa--- sekretaris ayah sedang
menunggu kami selesai bicara.
“Selamat datang, Mr. Edward dan nona Karen. Mr. Arnold
dan Mr. Levi sudah menunggu di ruang kerjanya. Silahkan ikuti saya.” Ketika
kami masuk ke dalam, aku melihat Levi dan ayah sedang duduk berhadapan di sofa.
Mereka langsung berdiri ketika melihat kami masuk. Ayah dan Levi bersalaman
dengan Aaron dan memeluk Karen. Vanessa sudah keluar dari ruangan.
“Silahkan duduk,” Aku duduk di sebelah Karen.
“Saya senang sekali kalian bisa datang kemari. Maaf
bila saya mengganggu jadwal anda pada hari ini,” kata ayah pada Aaron dan
Karen.
“Tidak, saya sama sekali tidak keberatan dengan undangan
anda. Malah saya merasa terhormat bisa datang kemari.” Karen mengangguk sambil
tersenyum formal.
“Nah, karena kita semua sudah di sini. Saya akan
mengatakan maksud sebenarnya mengundang kalian kemari,” Ayah terdiam sejenak
kemudian melanjutkan. “Sebagai rekan kerja dan sebagai sahabat lama, kita sudah
saling membantu satu sama lain. Oleh karena itu, saya ingin lebih mempererat hubungan
kekeluargaan kita dengan menjodohkan Levi--putraku dengan putrimu, Karen.”
Hening. Kata-kata
ayah bagaikan sambaran petir di siang bolong.
Ekspresiku horror, Karen menjadi kakak iparku? Oh
tidak!! Semua orang yang ada di ruangan ini menunjukkan ekspresi terkejut
kecuali ayah dan Levi. Rasanya aku ingin keluar dari sini dan memukul seseorang
sekarang juga. Aaron berdeham. “Saya rasa itu adalah ide yang bagus. Bukan
kebetulan, Karen dan Levi mempunyai hubungan yang baik di perusahaan ini.”Aku menatap
Karen---yang sekarang sedang menatap ayahnya dan ayahku dengan kebingungan.
Aku menatap Levi sengit, dia sedang melihat ke arah
lain. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat dilihat dari
ekspresinya. Bukankah seharusnya dia senang?
Aku memutuskan untuk berdiri. “Kalau begitu, saya
keluar dulu. Tampaknya saya tidak dibutuhkan di sini. Pemisi.” Aku berbalik
lalu meninggalkan ruangan itu. Aku dapat merasakan tatapan orang-orang yang ada
di dalam ruangan, salah satunya adalah tatapan tajam dari ayah. Tapi aku tidak
peduli, aku perlu menenangkan diri.
Di atap dari gedung ini. Pemandangannya sangat indah, terlepas
dari semua keramaian dan kemacetan kota New Tempat inilah biasanya aku
menenangkan diri saat sedang penat. Aku memejamkan mataku dan menenangkan diri.
Tak sadar aku sudah tertidur, tiba-tiba aku merasakan
sentuhan yang lembut di bahuku. Aku membuka mataku dan kulihat dia. Karen
tersenyum lembut lalu duduk di sebelahku.
“Pemandangan di sini sangat indah, Ed. Apa kau ingat
waktu itu kita juga suka berada di atap sekolah dan melihat pemandangan indah
seperti ini?” ujar Karen. Aku pun teringat masa lalu, semuanya begitu indah
namun semuanya berubah ketika dia pergi meninggalkan New York karena pekerjaan
ayahnya. Setelah itu, aku tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi. Aku
tidak percaya bahwa sekarang dia ada di sini dan duduk di sebelahku.
“Ya, aku ingat. Aku ingat semua yang kita lakukan
bersama waktu itu. Bagaimana aku bisa lupa?” Aku hanya bisa merawang ke langit.
Sayang sekali waktu berlalu begitu cepat tanpa menunggu siapapun dan sekarang
tampaknya aku telah menyesal karena melepasnya. Dia akan menjadi istri dari
Levi Cole. Pemikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mendesah lalu menatap langit
lagi. Aku bisa merasakan tatapan Karen, aku meliriknya. Dia terlihat sedih,
sama sepertiku. Perasaan yang dulu hilang namun muncul kembali ke permukaan.
Aku mengangkat tanganku, lalu mengelus-elus rambutnya.
Dia menyandar pada bahuku. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat di
mana dia berada sedekat ini denganku. Aku menyadari kekayaanku tidak bisa
membeli semua ini.
Pada malam harinya, Karen menelponku. “Halo,” sapaku.
“Hai, Edward!” Suaranya ceria sekali, “Besok hari
Sabtu. Maukah kau menjadi pemanduku selama di sini? Ayahku masih sibuk dengan
pekerjaannya. Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke New York.” Kata-kata
Karen membuat perutku bergejolak. Aku pun langsung mengiyakan ajakannya. Aku
menjemput Karen jam 10 pagi pada esok harinya. Kami pun sarapan taco di Taco Bell.
Malam harinya, aku mengajaknya ke taman kota. Tempat
inilah aku menyatakan cintaku padanya waktu itu, tapi semua itu harus berakhir
karena Karen harus kuliah di Jerman. Kalau diingat, hanya dengan Karen sajalah
aku merasa seperti manusia normal bukan anak dari CEO yang berambisi.
“Karen, apa kau
ingat apa yang terjadi di sini waktu itu?”
Karen tersenyum
sambil menatapku, “Ya, tentu saja aku ingat. Kau menyatakam cintamu padaku tepat
di bawah pohon ini,” kata Karen. Aku bertanya-tanya apakah dia masih merasakan
perasaan yang sama padaku? Apakah dia menerima tawaran dari ayah untuk menikah
dengan Levi?
“Aku senang
ternyata perasaanmu tidak berubah padaku dari dulu, tapi sayangnya keadaan sudah
berbeda sekarang,” ujarnya. Aku penasaran dengan apa yang akan dia katakan,
tapi aku juga gugup. Jantungku berdetak keras dalam dadaku. Dia mengangkat
kepala dan manatapku tepat di manik mata.
Aku tidak mau merasa bersalah bila dia sudah menerima
lamaran itu. “Karen, aku janji akan baik-baik saja sekalipun kau…”
“Sssst…” Dia menghentikanku untuk berbicara dengan
cara menaruh jari telunjuknya pada bibirku. Dia menutup mata dan menarik nafas,
lalu menatapku lagi. “Aku belum menjawab permintaan ayahmu. Aku tidak ingin
mengecewakan ayahku dan ayahmu juga, tapi aku juga tidak mau menikah dengan
orang yang tidak kucintai,” Dia diam lagi, “Jadi aku meminta tanda dari Tuhan
dan jawabannya tepat berada di hadapanku” Tanda itu aku! Sebuah memori melesak
keluar.
Aku sedang berada di rumah sakit. Ibu sedang
terbaring di tempat tidur dengan banyak sekali peralatan rumah sakit di seluruh
tubuhnya. Bunyi dari detak jantung ibulah yang membuatku terjaga. “Ibu, apa kau
tahu? Aku sudah lulus kuliah dan mendapat gelar cum laude, aku pasti bisa
mengejar prestasi Levi di perusahaan ayah.” Ibu hanya bisa menatapku tanpa
ekpresi apapun, karena penyakitnya—semakin lama tubuhnya semakin kehilangan fungsinya.
Tiba-tiba
ponselku berdering, aku melihat nama yang ada di layar tersebut. “Ibu, aku
keluar sebentar dulu ya.” Aku bangkit dari kursi lalu keluar dari ruangan.
“Halo,
ayah kapan kau datang? Kami sudah menunggumu dari tadi, kakak pergi duluan
karena ada urusan mendadak.” Aku bisa mendengar suara klakson dan derum mesin
di balik telepon.
“Maaf,
Nak. Ayah tidak bisa datang hari ini. Tiba-tiba ayah ada meeting yang
mendadak.” Aku terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit.
“Tidak
bisakah ayah datang walaupun hanya sebentar? Ibu sudah merindukan ayah.”
Hening
sejenak di telepon, “Maaf, ayah benar-benar tidak bisa.” Dan telepon pun
dimatikan. Pada hari yang sama, ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya.Sejak
saat itu yang ada hanya kebencian pada ayahku.
“Hei Edward, apa kau mendengarku?” Lamunanku terputus
karena suara Karen yang mengagetkanku. Aku hanya bisa tersenyum dan membuang
perasaan bersalahku jauh-jauh. Meskipun aku ingin bersama Karen, aku harus
menjalankan ambisiku demi ibu--- aku sudah setengah jalan. Aku tidak bisa
kembali lagi dan mengulang dari awal.
“Maaf, tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Akan
kuantar kau pulang.” Aku mengantar sampai ke depan pintu apartemennya, kami
mengucapkan selamat malam lalu aku berbalik pulang. Saat sampai, aku melihat
Levi sedang duduk di sebelah pintu apartemenku sambil membenamkan wajahnya di
tangannya.
Sudah lama sekali aku tidak melihat kakak berkunjung
ke apartemenku. Terakhir dia berkunjung adalah saat di pemakaman. Aku berjalan
mendekatinya. Mendengar langkah kakiku, dia bergerak dan mengangkat kepalanya.
Ada lingkaran hitam di bawah matanya, rambutnya kusut masai, kemejanya
berantakan dan kotor. “Sudah berapa lama kau di sini?” tanyaku.
“Aku tidak tahu berapa lama.” Suaranya parau. Dia
bangkit berdiri kemudian mengibas-ngibas celana kantornya. “Ed, kita perlu
bicara.”
“Maaf, tampaknya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu
kali ini.” Aku hampir menutup pintu, tiba-tiba dia menahannya dengan tangan.
Apa-apaan dia??!!! Aku menatapnya marah.
“Please, I need
somenone to talked to. I can’t… I just can’t..” Aku mengumpat pelan
kemudian membuka pintu sampai dia masuk. Dia menghempaskan diri ke sofa sambil menutup
mukanya dengan telapak tangannya.
“Kalau kau mau bicara, cepatlah. Aku tidak punya
banyak waktu.” Aku memilih duduk di sofa satunya sehingga kami saling berhadapan.
Aku memang tidak sopan karena tidak menawarinya minum, tapi aku malas
melihatnya berada di sini. Aku membuang perasaan bersalah yang menyelip dari
dalam hatiku jauh-jauh.
“Sebenarnya, saat ayah menaruh rencana dalam kepalaku
untuk menikah dengan Karen.” Dia terdiam sejenak sambil menelan ludah, “Aku
terkejut luar biasa, aku tidak ingin menikah dengan orang yang hanya kuanggap
sebagai adikku sendiri.”
“Lalu mengapa kau tidak menolaknya saja?!” ujarku
marah, “Mengapa kau menerimanya, padahal kau tidak mau??!” Aku bangkit kemudian
duduk kembali.
“Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjelaskan alasannya.
Karena hal itu akan mengorbankan seseorang dalam perusahaannya dan aku tidak
ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak mempunyai
perasaan apapun dengan Karen karena aku mencintai orang lain dan orang itu
adalah Vanessa.”
Mataku membelalak. Vanessa?! Sekretaris ayah?!!
Bagaimana bisa?!
“Aneh memang, tapi aku mencintainya dengan tulus. Aku
sebenarnya mulai dekat dengannya sejak kami kuliah di universitas yang sama.
Hubungan kami sempat terhenti karena kami memilih jalan yang berbeda, tapi aku
tidak menyangka bahwa aku bertemu dengannya lagi di perusahaan ayah dan kami
mulai berpacaran tanpa sepengatahuan ayah. Kami tetap menjaga profesionalitas
kami bila di kantor.” Levi bercerita sambil tersenyum.
“Mengapa kau tidak pernah bercerita kepada ayah
tentang Vanessa? Aku yakin ayah pasti mengerti.” Sejak kapan aku mulai menyebut
nama ‘ayah’ lagi? Aku selalu menyalahkannya karena kematian ibu, padahal ayah
tidak melakukan apapun. Buktinya sampai sekarang ayah belum menikah lagi
meskipun banyak wanita yang mendekatinya.
“Aku tidak bisa mengorbankan jabatan Vanessa yang
susah payah ia dapatkan, Ed.”
“Kalau begitu, aku akan mencoba berbicara dengannya
besok. Semua masalah ini harus selesai sebelum terlambat.,” ujarku.
“Terima kasih. Aku tahu aku tidak salah memilih orang
yang bisa kuandalkan.” Aku mengangguk dan dia pun pergi dengan bernafas lega.
Setelah Levi pergi, aku langsung memikirkan rencana untuk besok. Aku merasa gugup.
Aku akan benar-benar berbicara dengan ayah untuk pertama kalinya setelah sekian
lama.
Aku menarik nafas panjang selama tiga kali sebelum
mengetok pintu. Akhirnya aku berhasil mengetoknya juga. Seorang pelayan wanita
yang ramah mempersilahkanku masuk dan menunggu di sofa yang tidak pernah
kulihat lagi selama bertahun-tahun. Tak berapa lama, pelayan itu memanggilku
lagi dan mengantarku ke ruang kerja ayah.
“Yah..” Rasanya aneh sekali memanggilnya seperti itu.
Ayahku tidak berbalik. Aku menelan ludah, “Ayah, a.. a… aku minta ma.. maaf.”
Ayahku tetap diam, “Maaf, selama ini aku selalu mengecewakan ayah. Aku tahu aku
bukan anak yang membanggakan. Untuk itu aku minta maaf… Untuk segalanya.”
Hening. Aku menarik nafas, “Aku tahu aku tidak pantas
untuk menjadi anak ayah lagi, tapi aku mempunyai satu permintaan. Tolong jangan
nikahkah Karen dengan Levi. Aku tidak sanggup melihatnya menikahi Levi.”
Suaraku mulai bergetar. Ayah berbalik. Dia menyandarkan kepalanya pada
jari-jarinya yang terpaut di atas meja. Tatapannya sangat serius.
“Apa kau begitu mencintainya, Ed?” Aku mengangguk,
“Bagus, ayah mempunyai dua pilihan yang harus kau ambil.” Aku menunggu, “Ayah
sudah membatalkan pertunangan Levi dan Karen. Ayah hanya mengujinya. Ayah sudah
tahu siapa yang kau dan Levi cintai sesungguhnya.” Aku terkejut, ternyata ayah
tahu?
“Kau bisa tetap
berkerja di perusahaan ayah dan mencapai prestasi melampaui kakakmu atau kau
memilih menikahi Karen dengan jabatanmu sekarang di perusahaan? Mana yang kau
pilih?”Aku terdiam.
“Kalau kau memilih Karen, ayah tidak akan mengijinkan
Levi dengan Vanessa. Tapi kalau kau memilih menunggu dan bekerja sampai kau
bisa melampaui kakakmu, ayah akan berpikir ulang tentang hubunganmu dengan
Karen dan tentu saja Levi juga.” Aku berpikir keras. Ini bukan hanya tentang
diriku sendiri. Setiap pilihan ada hal yang harus dikorbankan. Seberapa besar
ambisiku dan rasa egoku? Sebarapa besar rasa cinta dan pengorbananku? Aku
membuka mulutku dan mengatakan jawabanku.
Dua tahun
kemudian…
Aku memandang bunga-bunga yang menghiasi altar pernikahan.
Para tamu yang berdatangan, keluarga yang hadir, dan tentu saja pendeta yang
akan memberkati upacara sakral ini. Janji nikah pun diucapkan. Pandanganku
tertuju pada ayah yang tersenyum bahagia, sudah lama sekali aku tidak melihat
ayah sebahagia ini, bahkan dia sampai meneteskan air mata juga.
“Ssst! Ed, cincinnya!” bisik Levi memutuskan lamunanku
tadi. Aku langsung sadar lalu mengeluarkan kotak mungil berwarna hitam lalu
mengeluarkan dua buah cincin. Para hadirin tertawa melihatku. Aku memberikan
kedua buah cincin emas putih tersebut pada Levi dan Vanessa. Aku mengalihkan
pandanganku pada salah satu pengiring pengantin wanita. Dia terlihat sangat
cantik dalam balutan gaun merah marun dengan bunga di sisi kiri tali bahunya. Aku
mengedip padanya dan dia tersenyum lembut padaku.
Aku berhasil melampaui kinerja kakak di perusahaan. Aku
tidak tahu mengapa aku bisa lebih memilih kebahagiaan kakak dibanding dengan
diriku sendiri. Ya, aku memutuskan untuk memilih pilihan kedua yang ayah
berikan. Saat aku sudah memilih, aku merasa lebih bahagia bahkan Karen pun
setuju denganku untuk memilih pilihan itu. Penyakit ayah telah sembuh, itu sebuah mujizat
dan hubunganku dengannya semakin baik.
“Now I
pronounced you husband and wife. You may now kiss your bride.” Mereka
berciuman dan penonton pun bertepuk tangan. Aku menatap Karen, dia juga
menatapku balik. Saat resepsi di dalam gedung, aku mengajak Karen untuk
berjalan-jalan di luar. Jantungku berdetak kencang. Aku menggandeng tangannya,
kelihatannya dia tidak keberatan dengan hal itu.
“Karen, apa kau tahu apa yang kupikirkan saat aku
memilih pilihan itu dua tahun yang lalu?”
“Tidak… Memangnya apa yang kau pikirkan?”
“Aku memikirkan tentang kita. Aku sempat berpikir
bagaimana jika aku memilih untuk menikah denganmu dan tidak peduli dengan
Levi?” Kami berjalan di taman belakang gedung pernikahan. Malam itu bulan
bersinar dengan indahnya “Aku berpikir lagi. Sekalipun aku mendapatkanmu waktu
itu, aku pasti akan menyesal karena aku mengorbankan kebahagiaan kakakku dan
kau pasti tidak setuju kalau aku memilih pilihan itu, bukan?” Kami berdua
tertawa bersama-sama karena kata-kataku itu benar.
Aku berhenti tertawa kemudian aku berhenti di
hadapannya sambil mengeluarkan kotak hitam kecil. Mata Karen mulai
berkaca-kaca.
“Karen Laurel Fillion, dua tahun sudah aku menunggu
saat-saat ini.” Aku berhenti dan menarik nafas panjang, “Maukah kau menikah denganku?”
Dia membekap mulutnya untuk menahan keterkejutannya,
kemudian aku memeluknya dengan erat. Tampaknya cerita kami akan dimulai
sekarang.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan
oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com. Kirim
cerpenmu ke email: send@nulisbuku.com.